Mengejar Mimpi (part 1): Apakah saya bisa sekolah?

“Terkadang saya masih merasa seperti bermimpi bisa lulus kuliah di Taiwan…”
demikian komentar Jujuk, alumnus prodi PTAG angkatan pertama setelah dirinya dinyatakan lulus dalam program magister di National Dong Hwa University, Taiwan.

jujuk ndhu

Barangkali tak pernah terbayangkan sebelumnya dalam benak muslimah berhijab itu jika suatu hari ia bisa sekolah di luar negeri bahkan meraih gelar M.Sc. yang berhak disematkan di belakang namanya: Jujuk Juhariah. Nama tersebut yang bahkan ia punya pengalaman unik ketika ada orang yang cukup terheran-heran dengan namanya. Jujuk berkisah, “ a couple years ago when I want to apply an English test in Bandung, the officer ask me “are you sure, your name is Jujuk? it is 2014”…”I started to ask to my self, whats wrong with the name Jujuk in 2014? is it old fashioned? Ndeso? name is one of the culture characteristics. I’m javanese recognized as sundanese because of my name

Jujuk memang asli orang Jawa, Boyolali Jawa Tengah tepatnya. Ia lahir 22 September 1989 dari pasangan Teguh Bagyo dan Sri Mulyani. Bapaknya adalah seorang petani yang terkadang juga berjualan jamu, sedangkan ma’e (panggilan Jujuk kepada ibunya) bekerja sebagai buruh. Masa kecil Jujuk pun dihabiskan di desa kelahirannya. Tahun 1995-2001, ia sekolah di SDN Ciluntang 2 kemudian menamatkan sekolah menengah pertama di SMPN 4 Boyolali tahun 2004. Setelah itu, ia sempat putus sekolah.

jujuk-parents
bapak & ma’e

SMPN 4 Boyolali, tempat Jujuk menimba ilmu terletak di kota yang agak jauh lokasinya dari desa Jujuk sehingga memerlukan biaya harian yang lebih tinggi karena tidak bisa ditempuh dengan jalan kaki. Pekerjaan orang tua Jujuk (bertani dan buruh) dengan penghasilan yang tidak menentu membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan harian sekolah Jujuk meskipun kala itu uang saku yang dibutuhkan per harinya hanya 3000 rupiah (2500 untuk ongkos; 500 untuk jajan). Oleh karena itu, kedua orang tuanya terpaksa berhutang. Ketika Jujuk lulus dari SMP, orangtuanya tidak sanggup membiayai putri sulungnya itu untuk melanjutkan sekolah karena hutang mereka sudah cukup banyak, terlebih masih ada adik-adik Jujuk lainnya yang harus dibiayai.

Selepas lulus dari SMP, Jujuk terus menerus mempertanyakan kepada orang tuanya. “apakah saya bisa sekolah?”, “apakah saya akan disekolahkan atau tidak?”

Akhirnya bapak Jujuk merantau ke Kalimantan beberapa bulan demi memenuhi jawaban atas pertanyaan putrinya. Bapak dan ma’e pun berpikir toh putrinya sekolah atau tidak, mereka tetap punya hutang. Akhirnya setahun berselang, Jujuk mendaftar ke SMK Mojosongo pada tahun 2005. Sekolah tersebut adalah SMK pertanian dengan biaya termurah se-kabupaten pada saat itu. Bagi Jujuk, putus sekolah bukan akhir dari segalanya.. dan ia merajut mimpi-mimpinya kembali..

Bersambung …

-mnh-