Dirjen Diksi: Start from The End

Start from the end, mindset inilah yang perlu dibangun dalam pendidikan vokasi menurut Wikan Sakarinto, M.Sc., PhD., Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi (Dirjen Diksi) Kemdikbud dalam webinar nasional AGROFEST (Agroindustry for Science, Education & Technology) yang diselenggarakan oleh Himagrin Prodi Pendidikan Teknologi Agroindustri UPI pada Minggu, 29 November 2020. 

“Dirjen Diksi yang meng-cover Direktorat Pendidikan Tinggi Vokasi dan Profesi (Politeknik, Universitas, Institut yang memiliki prodi vokasi – D1, D2, D3, D4, S2T, S3T), Direktorat SMK, Direktorat kursus dan pelatihan, tidak dilahirkan untuk hanya menyalurkan hibah atau perizinan prodi atau hanya mengeluarkan ijazah saja. Pendidikan vokasi memiliki dua tujuan utama yaitu: 1) melahirkan SDM kompeten, terampil dan unggul yang sesuai dengan kebutuhan IDUKA (industri dan dunia kerja); 2) menghasilkan produk nyata dari hasil riset terapan yang dihilirisasi ke pasar atau masyarakat. Ini adalah start from the end.”

Menurut Dirjen Diksi, kompetensi SDM yang dimaksud bukan hanya hard skills semata karena ternyata keluhan IDUKA terkait dengan aspek-aspek soft skills dan karakter. Berikut adalah keluhan pengguna tenaga kerja terhadap lulusan perguruan tinggi, yaitu: 1) kurang tahan menghadapi tekanan dalam dunia kerja; 2) kurang dapat bekerja sama dalam sebuah tim; 3) kurang inisiatif dan mudah bosan; 4) kurang dapat berkomunikasi baik secara lisan dan tulisan dengan baik. Meski demikian, tidak berarti hard skills tidak penting. IPK sebagai indeks prestasi kumulatif seorang mahasiswa hendaknya relatif tinggi (mencapai angka 3 koma sedikit) agar terjaring dalam proses interview seleksi tenaga kerja.

Pada webinar AGROFEST yang dipandu oleh Prof. Dr. Masriam Bukit, Dirjen Diksi memaparkan bahwa kebijakan Link and Match atau “pernikahan” merupakan suatu strategi untuk mencapai dua tujuan utama pendidikan vokasi yaitu melahirkan SDM kompeten dan menghasilkan produk nyata.  

Dalam webinar nasional AGROFEST yang dihadiri lebih dari 400 peserta (mahasiswa, guru SMK, dosen dari berbagai institusi di Indonesia), Wikan menjelaskan ciri-ciri sudah link dan sudah match sebagai target yang menjadi output & outcome pendidikan vokasi. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1) lulusan yang kompeten dan terampil sehingga siap bekerja atau melanjutkan studi atau menjadi wirausaha tangguh; 2) kurikulum yang adaptif, agile, fleksibel; 3) pembelajaran berbasis project dari industri; 4) riset terapan; 5) teaching factory/ industry.

Lulusan kompeten yang dimaksud harus memiliki kompetensi hard skills (IPK relatif tinggi, sertifikat kompetensi), soft skills (communication, problem solving, critical thinking, leadership, English skills presentation, creativity), integrity ( jujur, bekerja keras, syukur ikhlas, menginspirasi, cinta Indonesia). Seluruh kompetensi tersebut harus dapat diakomodir oleh kurikulum.

Pembelajaran berbasis proyek (project based learning/ PjBL) dari industri menjadi suatu tantangan karena masih terdapat miskonsepsi pemahaman proyek dimana proyek yang dimaksud bukan hanya sekedar membuat produk dalam suatu praktik kemudian dibuang begitu saja, tetapi proyek yang bernilai guna sesuai kebutuhan industri. Hal ini merupakan implementasi dari mindset start from the end. Peserta didik diberi stimulus atau difasilitasi agar dapat berkomunikasi, menjalin kerjasama dengan industri untuk menyelenggarakan suatu proyek yang dikerjakan secara bersama-sama dalam suatu tim selama periode waktu tertentu dengan bimbingan beberapa orang dosen. Keberhasilan proyek tersebut dinilai oleh industri. Hal ini pula yang menjadi salah satu contoh implementasi kurikulum yang adaptif, agile dan fleksibel.

PjBL dapat menjadi ekosistem untuk riset terapan dan teaching factory/ industry. Riset dalam pendidikan vokasi harus memiliki mindset start from the end, bukan hanya untuk sekedar mempublikasikan suatu artikel, naik pangkat, akreditasi prodi dan seterusnya. Riset harus menghasilkan produk nyata yang bermanfaat untuk masyarakat atau industri sehingga sebelum melaksanakan riset perlu ditentukan dulu jenis riset/ produk yang dibutuhkan dan industri/ pihak mana saja yang akan menggunakan hasil riset tersebut sehingga produk hasil riset tersebut akan layak jual dan layak jurnal

Teaching factory/ industry  bukan berarti kampus membuat produk massal untuk dijual di pasaran dan bersaing dengan produk lain di pasaran. Menurut Wikan,  kampus akan kesulitan bertarung dengan industri. Kampus seharusnya melahirkan prototype, HAKI, paten yang nanti dapat diproduksi secara massal oleh industri. 

Dalam kaitannya dengan agroindustri, Dirjen Diksi cukup fokus untuk bidang agro/ pertanian. Tahun 2021, aspek pertanian terutama teknologi terapan untuk mengembangkan produktivitas pertanian dan pengolahan hasil pertanian akan menjadi prioritas utama dalam kebijakan Dirjen Diksi.

Pada webinar nasional AGROFEST yang juga dihadiri oleh pimpinan UPI, pimpinan FPTK juga kepala departemen, ketua prodi di lingkungan FPTK UPI, Wikan menegaskan kembali pentingnya mindset start from the end. “Misal kampus yang menghasilkan guru atau dosen, maka hasilkanlah lulusan yang kelak menjadi guru atau dosen yang memiliki mindset start from the end, yaitu guru yang dapat menghasilkan SDM (lulusan vokasi) yang kompeten dan menghasilkan produk nyata. Kompetensi SDM tersebut, disampaikannya dalam suatu pantun:
habis kehujanan kita dipanggil,
datang pun dengan menggigil, 
untuk sukses tak cukup dengan hard skills, 
tapi karakter dan juga soft skills.

mnh-